Korupsi merupakan momok yang sangat berbahaya yang secara tidak sadar
tumbuh dalam aliran darah organisasi. Korupsi dapat terjadi di setiap lini pada
suatu organisasi mulai dari jajaran puncak sampai ke tingkat yang paling bawah.
Korupsi dapat dilakukan oleh siapa
saja, bahkan oleh seorang pegawai yang
tampak jujur sekalipun. Karena itu, organisasi harus senantiasa waspada
terhadap bahaya laten korupsi dengan melakukan pendeteksian terjadinya korupsi
dan melakukan upaya-upaya dalam mencegah perbuatan korupsi.
Ada empat faktor pendorong seseorang melakukan korupsi yaitu (1) Tekanan
dan kebutuhan, bahwa korupsi tergantung
pada kondisi tekanan keuangan dan kebiasaan buruk yang membutuhkan aliran dana
dalam jumlah besar, seperti berjudi, minum-minuman keras atau penggunan
narkoba, sedangkan kondisi keuangan tidak memungkinkan untuk mendanai kebiasan
buruk tersebut; (2) Kesempatan, bahwa
korupsi tergantung pada kedudukan pelaku, kesempatan untuk melakukan korupsi selalu
ada pada setiap kedudukan, terutama yang langsung bersentuhan dengan
pengelolaan keuangan. Adanya kesempatan mendorong seseorang berbuat korupsi
dengan pikiran “ lain kali tidak ada lagi kesempatan”; (3) Rasionalisasi, merupakan pembenaran atas perbuatan korupsi yang dilakukan, bahwa yang dilakukan bukanlah korupsi; (4) Pengungkapan,
berkaitan dengan proses pembelajaran berbuat curang karena menganggap sanksi
terhadap pelaku korupsi tergolong ringan, bahkan kadang lebih ringan dari
hukuman bagi seorang pencuri ayam atau pencuri sendal jepit.
Korupsi dapat
dideteksi dengan teknik critical point
auditing dan teknik analisis kepekaan. Pendekatan critical point auditing adalah analisis trend untuk menilai
kewajaran pembukuan dalam buku kas bila dibandingkan data sejenis periode
sebelumnya; dan pengujian khusus terhadap kegiatan yang beresiko tinggi
terhadap korupsi. Sedangkan metode
pada teknik analisis kepekaan adalah mengidentifikasi semua posisi kegiatan
dalam organisasi yang rawan terhadap korupsi; pengawasan rutin; pertimbangan
karakter pribadi pelaku program; dan tindak lanjut analisis kegiatan yang beresiko
tinggi.
Pendeteksian korupsi
juga dapat dilakukan melalui analisis laporan keuangan berupa (1) Analisis
vertikal, yaitu teknik menganalisis hubungan antara item-item dalam laporan
laba rugi atau neraca dengan membuat persentase; (2) Analisis horizontal, yaitu
teknik menganalisis persentase perubahan item laporan keuangan selama beberapa
periode laporan; (3) Analisis rasio, yaitu mengukur hubungan antara nilai-nilai
item dalam laporan keuangan dalam bentuk rasio, contoh current ratio atau perbandingan antara aktiva dan hutang,
adanya penggelapan uang atau pencurian kas dapat menyebabkan turunnya
perhitungan rasio tersebut.
Selain
itu, korupsi dapat dideteksi melalui beberapa teknik, yaitu (1) Analytical
review, merupakan suatu review atas berbagai akun yang mungkin menunjukkan
ketidakbiasaan atau kegiatan-kegiatan yang tidak diharapkan; (2) Statistical
sampling, dokumen dasar pembelian dapat diuji secara sampling untuk menentukan
ketidakbiasaan; (3) Site visit – observation, observasi ke lokasi dan bagaimana
transaksi akuntansi dilaksanakan akan memberi peringatan adanya potensi korupsi;
(4) Laporan dari masyarakat, suplier, LSM atau pihak-pihak lain yang terkait
dengan program.
Tanggungjawab manajemen dalam program, terutama manajemen ditingkat
kabupaten dan provinsi dalam pencegahan korupsi mencakup (1) Pengembangan
lingkungan pengendalian; (2) Pemetaan tujuan dan sasaran organisasi yang
realistis; (3) Menetapkan aturan perilaku pelaku program yang didokumentasikan
dan implementasikan; (4) Kebijakan otorisasi yang tepat untuk setiap transaksi;
(5) Kebijakan, prosedur, praktik, pelaporan dan mekanisme lain untuk memonitor
aktivitas dan menjaga aset yang memiliki resiko tinggi dan mahal; (6) Mekanisme
komunikasi informasi yang dapat dipercaya serta berkesinambungan antara seluruh
pelaku program dengan pihak manajemen.
Pencegahan korupsi
mencakup dua aktivitas utama, yaitu (1) Menciptakan dan memelihara budaya kejujuran
dan integritas dengan cara menciptakan aturan perilaku yang sesuai dengan etika,
merekrut pelaku program yang jujur dan berkualitas, mengkomunikasikan ekspetasi
program dan konfirmasi tertulis secara periodik, menciptakan lingkungan kerja
yang positif dan kondusif, mengembangkan kebijakan yang efektif untuk menghukum
pelaku korupsi agar menimbulkan efek jera bagi pelaku program yang lain dan
terutama bagi pelaku korupsi yang bersangkutan; (2) Menilai dan mengurangi
resiko terjadinya korupsi dengan cara mengidentifikasi sumber resiko, mengimplementasikan
pengendalian yang bersifat preventif dan detektif, menciptakan pemantauan yang
diperluas oleh pelaku program dan melaksanakan pengecekan independen, mencakup
fungsi audit yang efektif; (3) Mengefektifkan aktivitas
pengendalian melalui (a) Review Kinerja dengan membandingkan
anggaran, prakiraan, atau kinerja priode sebelumnya, menghubungkan satu
rangkaian data yang berbeda operasi atau keuangan satu sama lain, bersama
dengan analisis atas hubungan dan tindakan penyelidikan dan perbaikan, (b) Pengendalian
fisik, mencakup
keamanan fisik aktiva, penjagaan yang memadai terhadap fasilitas yang
terlindungi dari akses terhadap aktiva dan catatan,
otorisasi untuk akses ke program komputer dan arsip data,
perhitungan secara periodik dan pembandingan dengan jumlah yang tercantum dalam
catatan pengendali, (c) Pemisahan tugas ke
orang yang berbeda untuk otorisasi, pencatatan transaksi dan
penyimpanan aktiva untuk mengurangi kesempatan bagi seseorang untuk melakukan korupsi; (4) Meningkatkan kultur organisasi program dengan
mengimplementasikan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, akuntabilitas, tanggung
jawab, moralitas, kehandalan dan komitmen untuk
mendorong kinerja sumber daya secara efisien serta
menghasikan nilai ekonomi yang berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat.
Pencegahan korupsi juga
dapat dilakukan dengan mengeliminir faktor-faktor pendorong terjadinya korupsi yaitu menurunkan tekanan kepada para pelaku
program agar ia mampu memenuhi
kebutuhannya dengan memberikan gaji yang memadai dan menciptakan iklim kerja
yang kondusif, memperkecil peluang terjadinya kesempatan untuk berbuat
kecurangan dengan melakukan pengendalian internal (akan dijelaskan di part 3),
mengeliminasi alasan untuk pembenaran atas tindak korupsi yang dilakukan dengan
menciptakan komunikasi yang efektif
antar para pelaku, melalui dialog formal dan nonformal serta sosialisasi
tentang hukuman yang akan diberikan bagi para pelaku korupsi.
Selain itu, upaya
yang harus dilakukan untuk melakukan pencegahan korupsi, yaitu (1) Membangun
individu yang didalamnya terdapat kepercayaan
dan keterbukaan, mencegah benturan kepentingan; (2) Membangun sistem
pendukung kerja yang meliputi sistem yang terintegrasi, standarisasi kerja,
aktifitas control dan sistem rewards and punishment; (3) Membangun
sistem monitoring yang didalamnya terkandung penilaian pengendalian internal.
Betapapun upaya yang dilakukan untuk mencegah korupsi, hal yang terpenting
adalah komitmen yang kuat dari seluruh pelaku program mulai dari tingkat
kecamatan sampai kepada tingkat pusat untuk menyatakan perang terhadap korupsi.
Peran manajemen di tingkat pusat terutama dalam hal pembuatan kebijakan dan
standar operasional prosedur yang didalamnya termuat klausa yang dapat
mengeliminir atau bahkan mencegah tindakan korupsi. Sedangkan para pelaku program
ditingkat kecamatan dan kabupaten adalah ujung tombak implementasi dari pelaksanaan
kebijakan dan standar operasional prosedur tersebut.
Selain itu, dibutuhkan peran aktif dari seluruh stakeholder yang terkait
dengan program agar upaya pencegahan
korupsi dapat dihembuskan dalam setiap nafas program dan diejawantahkan dalam
bentuk perilaku para pelaku program. Sekali lagi, marilah kita senantiasa untuk
waspada terhadap korupsi dan dengan lantang kita menyuarakan “Say No to KORUPSI!”. SALAM SI KOMPAK... (FK Kec. Batang - Jeneponto)
0 comments:
Post a Comment