Monday, August 11, 2014

Awas, Bahaya Laten Korupsi (Part 2)

BY Unknown No comments



Korupsi merupakan momok yang sangat berbahaya yang secara tidak sadar tumbuh dalam aliran darah organisasi. Korupsi dapat terjadi di setiap lini pada suatu organisasi mulai dari jajaran puncak sampai ke tingkat yang paling bawah. Korupsi dapat dilakukan oleh siapa saja, bahkan oleh seorang pegawai  yang tampak jujur sekalipun. Karena itu, organisasi harus senantiasa waspada terhadap bahaya laten korupsi dengan melakukan pendeteksian terjadinya korupsi dan melakukan upaya-upaya dalam mencegah perbuatan korupsi.
Ada empat faktor pendorong seseorang melakukan korupsi yaitu (1) Tekanan dan kebutuhan, bahwa korupsi tergantung pada kondisi tekanan keuangan dan kebiasaan buruk yang membutuhkan aliran dana dalam jumlah besar, seperti berjudi, minum-minuman keras atau penggunan narkoba, sedangkan kondisi keuangan tidak memungkinkan untuk mendanai kebiasan buruk tersebut; (2) Kesempatan, bahwa korupsi tergantung pada kedudukan pelaku, kesempatan untuk melakukan korupsi selalu ada pada setiap kedudukan, terutama yang langsung bersentuhan dengan pengelolaan keuangan. Adanya kesempatan mendorong seseorang berbuat korupsi dengan pikiran “ lain kali tidak ada lagi kesempatan”; (3) Rasionalisasi, merupakan pembenaran atas perbuatan korupsi yang dilakukan,  bahwa yang dilakukan bukanlah korupsi; (4) Pengungkapan, berkaitan dengan proses pembelajaran berbuat curang karena menganggap sanksi terhadap pelaku korupsi tergolong ringan, bahkan kadang lebih ringan dari hukuman bagi seorang pencuri ayam atau pencuri sendal jepit.
Korupsi dapat dideteksi dengan teknik critical point auditing dan teknik analisis kepekaan. Pendekatan critical point auditing adalah analisis trend untuk menilai kewajaran pembukuan dalam buku kas bila dibandingkan data sejenis periode sebelumnya; dan pengujian khusus terhadap kegiatan yang beresiko tinggi terhadap korupsi. Sedangkan metode pada teknik analisis kepekaan adalah mengidentifikasi semua posisi kegiatan dalam organisasi yang rawan terhadap korupsi; pengawasan rutin; pertimbangan karakter pribadi pelaku program; dan tindak lanjut analisis kegiatan yang beresiko tinggi.
Pendeteksian korupsi juga dapat dilakukan melalui analisis laporan keuangan berupa (1) Analisis vertikal, yaitu teknik menganalisis hubungan antara item-item dalam laporan laba rugi atau neraca dengan membuat persentase; (2) Analisis horizontal, yaitu teknik menganalisis persentase perubahan item laporan keuangan selama beberapa periode laporan; (3) Analisis rasio, yaitu mengukur hubungan antara nilai-nilai item dalam laporan keuangan dalam bentuk rasio, contoh current ratio atau perbandingan antara aktiva dan hutang, adanya penggelapan uang atau pencurian kas dapat menyebabkan turunnya perhitungan rasio tersebut.
Selain itu, korupsi dapat dideteksi melalui beberapa teknik, yaitu (1) Analytical review, merupakan suatu review atas berbagai akun yang mungkin menunjukkan ketidakbiasaan atau kegiatan-kegiatan yang tidak diharapkan; (2) Statistical sampling, dokumen dasar pembelian dapat diuji secara sampling untuk menentukan ketidakbiasaan; (3) Site visit – observation, observasi ke lokasi dan bagaimana transaksi akuntansi dilaksanakan akan memberi peringatan adanya potensi korupsi; (4) Laporan dari masyarakat, suplier, LSM atau pihak-pihak lain yang terkait dengan program.
Tanggungjawab manajemen dalam program, terutama manajemen ditingkat kabupaten dan provinsi dalam pencegahan korupsi mencakup (1) Pengembangan lingkungan pengendalian; (2) Pemetaan tujuan dan sasaran organisasi yang realistis; (3) Menetapkan aturan perilaku pelaku program yang didokumentasikan dan implementasikan; (4) Kebijakan otorisasi yang tepat untuk setiap transaksi; (5) Kebijakan, prosedur, praktik, pelaporan dan mekanisme lain untuk memonitor aktivitas dan menjaga aset yang memiliki resiko tinggi dan mahal; (6) Mekanisme komunikasi informasi yang dapat dipercaya serta berkesinambungan antara seluruh pelaku program dengan pihak manajemen.
Pencegahan korupsi mencakup dua aktivitas utama, yaitu (1) Menciptakan dan memelihara budaya kejujuran dan integritas dengan cara menciptakan aturan perilaku yang sesuai dengan etika, merekrut pelaku program yang jujur dan berkualitas, mengkomunikasikan ekspetasi program dan konfirmasi tertulis secara periodik, menciptakan lingkungan kerja yang positif dan kondusif, mengembangkan kebijakan yang efektif untuk menghukum pelaku korupsi agar menimbulkan efek jera bagi pelaku program yang lain dan terutama bagi pelaku korupsi yang bersangkutan; (2) Menilai dan mengurangi resiko terjadinya korupsi dengan cara mengidentifikasi sumber resiko, mengimplementasikan pengendalian yang bersifat preventif dan detektif, menciptakan pemantauan yang diperluas oleh pelaku program dan melaksanakan pengecekan independen, mencakup fungsi audit yang efektif; (3) Mengefektifkan aktivitas pengendalian melalui (a) Review Kinerja dengan membandingkan anggaran, prakiraan, atau kinerja priode sebelumnya, menghubungkan satu rangkaian data yang berbeda operasi atau keuangan satu sama lain, bersama dengan analisis atas hubungan dan tindakan penyelidikan dan perbaikan, (b) Pengendalian fisik, mencakup keamanan fisik aktiva, penjagaan yang memadai terhadap fasilitas yang terlindungi dari akses terhadap aktiva dan catatan, otorisasi untuk akses ke program komputer dan arsip data, perhitungan secara periodik dan pembandingan dengan jumlah yang tercantum dalam catatan pengendali, (c) Pemisahan tugas ke orang yang berbeda untuk otorisasi, pencatatan transaksi dan penyimpanan aktiva untuk mengurangi kesempatan bagi seseorang untuk melakukan korupsi; (4) Meningkatkan kultur organisasi program dengan mengimplementasikan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab, moralitas, kehandalan dan komitmen untuk mendorong kinerja sumber daya secara efisien serta menghasikan nilai ekonomi yang berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat.
Pencegahan korupsi juga dapat dilakukan dengan mengeliminir faktor-faktor pendorong terjadinya korupsi  yaitu menurunkan tekanan kepada para pelaku program  agar ia mampu memenuhi kebutuhannya dengan memberikan gaji yang memadai dan menciptakan iklim kerja yang kondusif, memperkecil peluang terjadinya kesempatan untuk berbuat kecurangan dengan melakukan pengendalian internal (akan dijelaskan di part 3), mengeliminasi alasan untuk pembenaran atas tindak korupsi yang dilakukan dengan menciptakan komunikasi yang efektif  antar para pelaku, melalui dialog formal dan nonformal serta sosialisasi tentang hukuman yang akan diberikan bagi para pelaku korupsi.
Selain itu, upaya yang harus dilakukan untuk melakukan pencegahan korupsi, yaitu (1) Membangun individu yang didalamnya terdapat kepercayaan dan keterbukaan, mencegah benturan kepentingan; (2) Membangun sistem pendukung kerja yang meliputi sistem yang terintegrasi, standarisasi kerja, aktifitas control dan sistem rewards and punishment; (3) Membangun sistem monitoring yang didalamnya terkandung penilaian pengendalian internal.
Betapapun upaya yang dilakukan untuk mencegah korupsi, hal yang terpenting adalah komitmen yang kuat dari seluruh pelaku program mulai dari tingkat kecamatan sampai kepada tingkat pusat untuk menyatakan perang terhadap korupsi. Peran manajemen di tingkat pusat terutama dalam hal pembuatan kebijakan dan standar operasional prosedur yang didalamnya termuat klausa yang dapat mengeliminir atau bahkan mencegah tindakan korupsi. Sedangkan para pelaku program ditingkat kecamatan dan kabupaten adalah ujung tombak implementasi dari pelaksanaan kebijakan dan standar operasional prosedur tersebut.
Selain itu, dibutuhkan peran aktif dari seluruh stakeholder yang terkait dengan program agar  upaya pencegahan korupsi dapat dihembuskan dalam setiap nafas program dan diejawantahkan dalam bentuk perilaku para pelaku program. Sekali lagi, marilah kita senantiasa untuk waspada terhadap korupsi dan dengan lantang kita menyuarakan “Say No to KORUPSI!”. SALAM SI KOMPAK... (FK Kec. Batang - Jeneponto)


0 comments:

Post a Comment